
Pangandaran, Sergap.live – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) SPP mengungkapkan bahwa dugaan pelanggaran dalam sengketa tanah di Kabupaten Pangandaran semakin menguat. Hal ini terkait gugatan yang diajukan PT. Startrust melalui Hirawan Ardiwinata terhadap PT. OCBC NISP (dahulu PT. NISP) dengan nomor perkara 296/Pdt.G/2024/PN Bdg.
Yosep, dari LBH SPP, menyampaikan bahwa sengketa tersebut melibatkan lahan seluas kurang lebih 360 hektare yang terletak di empat desa di dua kecamatan, yakni Desa Pananjung, Wonoharjo, Cikembulan, dan Sukaresik, di Kecamatan Pangandaran dan Sidamulih.
Asal-usul tanah tersebut bermula dari Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN XIII yang dahulu ditanami kelapa dan kakao. Pada tahun 1997, tanah ini beralih menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT. Startrust setelah diperoleh melalui proses lelang negara di Bandung, dengan tujuan mendukung pengembangan pariwisata sesuai rencana tata ruang.
Namun dalam kenyataannya, PT. Startrust yang telah memegang sertifikat HGB justru tidak membangun fasilitas apa pun di atas tanah tersebut hingga saat ini. Tanah dibiarkan terlantar, bertentangan dengan tujuan awal peruntukannya. Yosep menegaskan bahwa tindakan penelantaran ini merupakan pelanggaran serius.
“Seharusnya tanah HGB yang ditelantarkan bisa kembali kepada negara. Berdasarkan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, HGB dapat dihapus apabila dalam jangka waktu yang ditentukan tanah tersebut tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya,” ujar Yosep.
Selain itu, LBH SPP menyoroti fakta bahwa PT. Startrust sempat mengagunkan sertifikat HGB tersebut ke Bank OCBC NISP untuk memperoleh pinjaman. Meski telah mendapatkan dana, PT. Startrust tidak membangun apapun dan tidak pula dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan.
Lebih jauh Yosep mengungkapkan bahwa dalam pelelangan agunan oleh pihak bank, seharusnya yang disita adalah aset milik PT. Startrust, baik bergerak maupun tidak bergerak, bukan obyek tanahnya. Sebab, status tanah tersebut tetaplah tanah negara, hanya hak atas penggunaannya yang beralih.
“Sebelum ada penyelesaian sengketa, seharusnya pemerintah atau BPN segera memblokir seluruh transaksi atas tanah tersebut. Jika ada peralihan hak yang terjadi di tengah sengketa, patut dicurigai sebagai bentuk perbuatan melawan hukum,” tambah Yosep.
Menurutnya, penyelesaian status tanah HGB yang terlantar harus melalui mekanisme inventarisasi, identifikasi, penelitian oleh Kantor Wilayah BPN, serta pemberian peringatan dan penetapan tanah terlantar oleh BPN pusat.
“Dalam hal ini, kami mendesak pemerintah segera turun tangan untuk menyelamatkan aset negara dan menindaklanjuti penyelesaian sengketa ini sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” pungkas Yosep.
(Red)