
Pangandaran, Sergap.live – Kritik tajam yang dilayangkan Sarasa Institute terhadap kondisi keuangan Kabupaten Pangandaran menuai respons dari sejumlah pihak. Pengamat kebijakan publik yang juga politikus PDIP, Rohimat Resdiana, menilai pernyataan lembaga tersebut cenderung politis dan tidak didasarkan pada kajian objektif.
Sarasa Institute sebelumnya menyebut Pangandaran mengalami kegagalan tata kelola keuangan dan mendesak dilakukannya audit forensik serta intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pernyataan tersebut muncul setelah viralnya pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengenai kondisi fiskal Pangandaran.
Menanggapi hal itu, Rohimat menyatakan bahwa narasi “kabupaten sekarat” tidak mencerminkan fakta utuh yang sedang terjadi di lapangan.
“Yang terjadi bukan kegagalan, melainkan tantangan fiskal yang dialami banyak daerah pasca pandemi dan reformulasi kebijakan transfer pusat,” ujarnya dalam siaran pers yang dikirimkan keredaksi, Selasa (10/6/2025).
Menurutnya, keterlambatan pembayaran Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) dan Dana Bagi Hasil (DBH) lebih disebabkan oleh penyesuaian anggaran akibat pandemi, bukan karena manajemen buruk atau penyimpangan anggaran.
Pemerintah Kabupaten Pangandaran juga menegaskan bahwa langkah pengajuan pinjaman ke Bank BJB dilakukan sesuai prosedur dan dengan pengawasan ketat. Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan menjaga kelangsungan belanja daerah di tengah tekanan fiskal.
Rohimat mempertanyakan motif di balik desakan audit forensik yang disuarakan Sarasa Institute.
“Kita harus jujur secara intelektual. Audit internal dan klarifikasi semestinya dihormati. Apalagi BPK sudah menyatakan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP),” jelasnya.
Ia menilai kritik terhadap opini WDP dari BPK tanpa disertai temuan baru justru memunculkan kesan spekulatif. “BPK bekerja berdasarkan data, bukan tekanan politik,” tambahnya.
Narasi bahwa Pangandaran menuju kebangkrutan juga dibantah. Rohimat menyebut Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru menunjukkan tren peningkatan, khususnya dari sektor pariwisata.
“Kami sedang menata belanja, melakukan efisiensi, dan memperkuat pendapatan. Ini bagian dari proses penyehatan fiskal, bukan tanda-tanda keuangan kolaps,” ujarnya.
Pemerintah daerah, lanjutnya, sedang mempercepat pembayaran hak-hak desa seperti TPAPD dan DBH. Soal penghasilan tetap (Siltap) perangkat desa, ia menyatakan bahwa proses pembayaran masih berlangsung secara bertahap.
Rohimat juga menyerukan agar lembaga-lembaga pengkritik pemerintah mengambil peran konstruktif dalam membangun daerah.
“Jika tujuannya memperbaiki Pangandaran, mari duduk bersama. Kritik boleh, tapi jangan membakar opini publik dengan narasi yang belum diverifikasi,” katanya.
Di akhir pernyataannya, ia berharap seluruh elemen masyarakat Pangandaran, termasuk Sarasa Institute, dapat menghindari polarisasi politik dan lebih fokus pada pemulihan pasca Pilkada.
“Kita perlu dewasa menyikapi persoalan. Jangan biarkan dinamika politik masa lalu merusak semangat pembangunan ke depan,” pungkasnya.
(@Red)