
Pangandaran, Sergap.live – Dewan Suro Serikat Petani Pasundan (SPP) Kabupaten Pangandaran Arif Budiman, mengecam keras tindakan kekerasan brutal yang dialami oleh salah satu anggota SPP di kawasan sengketa lahan eks HGU PTPN VIII.
Penyerangan tersebut dinilai sebagai bentuk intimidasi sistematis terhadap petani yang memperjuangkan hak atas tanah negara yang kini diprivatisasi secara ilegal oleh korporasi.
Dalam pernyataan resminya, Dewan Suro SPP menyebutkan bahwa tindakan kekerasan tersebut tidak hanya mencederai kemanusiaan, tetapi juga menunjukkan adanya praktik mafia tanah yang beroperasi di balik skema investasi wisata.
Penyerangan terhadap anggota SPP terjadi di tengah upaya masyarakat mempertahankan lahan garapan mereka yang kini diklaim sebagai milik korporasi pemegang HGB.
Diketahui sebelumnya, terdapat rencana pengembangan Objek Wisata Terpadu yang telah disetujui pemerintah, dengan skema tata ruang meliputi:
1. Fasilitas wisata publik,
2. Areal usaha bagi perusahaan wisata,
3. Ruang bagi pedagang kecil penunjang wisata,
4. Fasilitas kesehatan untuk pengunjung dan warga lokal,
5. Sarana ibadah,
6. Infrastruktur pemerintahan pendukung industri wisata,
7. Perlindungan terhadap masyarakat yang telah menghuni dan mengelola lahan sebelum HGB diterbitkan.
Namun kenyataan di lapangan sangat bertolak belakang. Pihak pengembang seperti PT. Startrust dan PT. PMB, yang semestinya membangun kawasan wisata publik, justru diduga telah memperjualbelikan lahan eks HGU secara ilegal.
Lahan tersebut kini dikapling menjadi perumahan mewah dan ruko yang diperjualbelikan demi keuntungan pribadi, bukan untuk kepentingan rakyat.
“Tanah negara eks perkebunan seharusnya dikembalikan kepada negara dan didistribusikan untuk rakyat. Tapi yang terjadi malah dikapling, dijual ke swasta dan rakyat diusir dengan kekerasan. Ini pengkhianatan terhadap amanat konstitusi,” tegas pernyataan Dewan Suro SPP Arif Budiman.
Arif menuntut pemerintah pusat dan daerah untuk: Membatalkan seluruh bentuk hak atas tanah baik berupa HGB maupun hak milik yang diterbitkan di atas lahan negara eks HGU PTPN VIII,
Mengembalikan tanah tersebut kepada negara dan melakukan redistribusi kepada rakyat yang telah menggarapnya,
Menyediakan ruang untuk hunian, pertanian rakyat, kegiatan usaha kecil, serta kepentingan umum seperti fasilitas ibadah, kesehatan, dan pemerintahan desa,
Menindak tegas praktik jual beli tanah negara oleh oknum pengusaha dan perbankan yang terlibat.
Arif menegaskan bahwa keberadaan pariwisata di Pangandaran seharusnya menjadi kekuatan untuk kesejahteraan masyarakat lokal, bukan alat penggusuran demi kepentingan segelintir elit pemodal.
“Kami berdiri sebagai warga Pangandaran, menolak segala bentuk perampasan ruang hidup rakyat dan menyerukan kepada seluruh elemen bangsa untuk mengusut tuntas mafia tanah dan kejahatan agraria yang sedang berlangsung di Pangandaran,” tutup pernyataan tersebut.
(Red-@BD)