
Pangandaran, Sergap.live – Gelombang investasi sektor pariwisata di Kabupaten Pangandaran kembali menuai sorotan. Kali ini, Serikat Petani Pasundan (SPP) angkat bicara, menyambut baik pembangunan ekonomi namun menegaskan garis merah: investasi tidak boleh menjadi alat penggusuran warga lokal dari tanah yang telah mereka garap turun-temurun.
“Jangan jadikan pembangunan sebagai dalih untuk menghapus jejak warga dari tanahnya sendiri,” kata Arif Budiman, anggota SPP, dalam wawancara Minggu (15/6/2025). Pernyataan ini disampaikan di tengah kisruh konflik agraria di wilayah pesisir Pangandaran yang diklaim oleh perusahaan swasta Grand Pangandaran.
Menurut Arif, geliat investasi jangan sampai hanya menjadi pesta segelintir elite pemodal yang datang membawa modal besar namun mengabaikan jejak hidup warga lokal.
Ia menyebut banyak petani dan pelaku ekonomi kecil yang telah mengelola lahan secara aktif dan sah secara sosial, meski tak memiliki sertifikat formal yang kerap dijadikan alasan penggusuran.
“Tanah ini bukan kosong. Ada kehidupan di atasnya. Ada sejarah, ada keluarga yang bertahan dari generasi ke generasi. Jangan remehkan itu,” tegasnya.
Keadilan Digeser oleh Sertifikat?
SPP menolak narasi sepihak bahwa warga adalah penyerobot. Menurut Arif, kalau memang pihak perusahaan yakin memiliki bukti sah atas lahan, silakan tempuh jalur hukum, bukan jalur intimidasi.
“Kalau kami dianggap menempati tanah tanpa hak, bawa ke pengadilan. Jangan pakai cara-cara lapangan yang penuh tekanan dan ketakutan. Di negeri hukum, yang bicara seharusnya bukan pagar seng, tapi dokumen yang diuji di pengadilan,” ujarnya.
Beberapa laporan dari warga menyebutkan adanya tindakan pemagaran sepihak dan intimidasi terhadap penggarap, sebuah pola lama dalam konflik agraria yang kini muncul dengan wajah baru: pariwisata.
Jangan Jadikan Warga Lokal Penonton di Tanah Sendiri, SPP menolak dicap anti-pembangunan. Sebaliknya, mereka mengaku sangat mendukung kemajuan Pangandaran sebagai destinasi unggulan Jawa Barat.
Namun pembangunan, kata Arif, harus berkeadilan dan inklusif. Tidak boleh menjadikan masyarakat lokal sekadar latar belakang untuk brosur wisata.
“Kami bukan anti pariwisata. Tapi jangan sampai kami yang selama ini hidup di sini hanya jadi penonton, hanya jadi penyedia senyum di brosur, tapi tak punya ruang hidup sendiri,” sindir Arif.
Panggilan untuk Pemerintah Daerah: Berdirilah di Tengah
Dalam situasi memanas ini, SPP juga menyoroti sikap pemerintah daerah yang dinilai sering kali lebih cepat merespons kepentingan pemodal daripada keluhan rakyat. Arif mendesak agar Pemkab Pangandaran tidak bersikap abu-abu.
“Kalau pemerintah memang pro-rakyat, maka lindungi warga dari penggusuran yang dibungkus rapi dengan dalih pembangunan,” tambahnya.
Kawasan wisata Pangandaran, yang sejak beberapa tahun terakhir menjadi magnet investor, kini diwarnai oleh persoalan tumpang tindih klaim lahan antara masyarakat penggarap dan pemilik modal.
Proses alih fungsi lahan seringkali dilakukan tanpa melibatkan warga yang sudah lama mengelola tanah, bahkan tanpa ada proses transparansi yang jelas.
Sejumlah warga menyebut telah tinggal dan menggarap tanah selama puluhan tahun, namun kini dihadapkan pada surat-surat perusahaan yang tiba-tiba muncul, mengklaim kepemilikan atas lahan yang selama ini mereka tempati.
Konflik yang terjadi bukan hanya soal tanah, tapi juga soal siapa yang punya hak untuk menikmati kemajuan. Apakah hanya mereka yang datang membawa modal dan sertifikat, atau juga mereka yang sudah lama bertahan tanpa perlindungan formal, tapi dengan sejarah hidup yang nyata?
(Red)