
Pangandaran, Sergap.live – Sekretaris Jenderal Serikat Petani Pasundan (SPP) menyatakan sikap tegas terkait dugaan praktik mafia tanah dan korupsi dalam pengelolaan dan peralihan hak atas tanah eks PTPN VIII di kawasan Pangandaran.
Dalam pernyataan resminya, Sekjen SPP mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk segera mengusut tuntas dugaan pelanggaran hukum agraria dan tindak pidana korupsi yang terjadi dalam proses jual-beli dan alih fungsi tanah negara tersebut.
Sekjen SPP menyoroti bahwa tanah eks PTPN VIII seharusnya kembali kepada negara dan kemudian diberikan kepada buruh kebun, masyarakat penggarap, dan pemerintah desa setempat, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan peraturan agraria nasional. Ketentuan ini diatur dalam:
UUD 1945 Pasal 33
UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 PP No. 1 Tahun 1961 PP No. 224 Tahun 1961 Tap MPR No. IX Tahun 2001 Keppres No. 34 Tahun 2003.
Berdasarkan aturan tersebut, tanah-tanah eks perkebunan kolonial yang dikuasai oleh negara pasca kemerdekaan, dan dikelola oleh PTPN dengan status HGU (Hak Guna Usaha), harus dikembalikan kepada rakyat setelah masa guna habis, khususnya kepada petani lokal, buruh kebun, dan pemerintahan desa.
Namun kenyataannya, menurut pernyataan Sekjen SPP, terjadi penyimpangan yang sangat serius. Tanah negara eks PTPN VIII diduga diperjualbelikan secara ilegal, dialihkan menjadi HGB (Hak Guna Bangunan) oleh perusahaan bernama PT Startrust, namun tak pernah dikembangkan sebagaimana dijanjikan untuk proyek wisata.
“PT Startrust sejak awal tidak menjalankan kewajibannya. Tidak ada pembangunan nyata, hanya klaim membangun pasar wisata, yang justru dibangun oleh Pemda Ciamis dengan dana pinjaman dari Kemenkeu,” ujar Sekjen SPP.
Lebih lanjut, tanah tersebut diduga dijaminkan kepada Bank NISP, kemudian terjadi penyitaan tanpa dasar hukum agraria yang jelas. Tanah yang seharusnya menjadi aset negara kini justru berpindah ke tangan pihak swasta dan diperjualbelikan menjadi perumahan oleh perusahaan PMB, yang disebut telah menjual tanah itu kepada konsumen, meski status asal-usulnya tidak jelas.
Sekjen SPP menyebut hal ini sebagai bentuk brutalitas pelanggaran hukum agraria, di mana tidak hanya terjadi penyimpangan administratif, tapi juga penyalahgunaan kewenangan oleh oknum pejabat dari tingkat desa hingga provinsi.
“Ini bukan hanya masalah agraria. Ini adalah kejahatan terstruktur yang mengabaikan hak rakyat, merusak tatanan hukum, dan membuka ruang korupsi di sektor pertanahan. Kami mendesak KPK, Kejaksaan Agung, dan BPN untuk bertindak,” tegasnya.
Dalam pernyataan yang sama, SPP juga mendorong pemerintah pusat dan daerah membentuk tim terpadu yang melibatkan Kementerian ATR/BPN, Kementerian Pertanian, aparat penegak hukum, serta organisasi masyarakat sipil dan petani, guna menangani secara menyeluruh dan adil konflik agraria di wilayah tersebut.
“Kami tidak ingin ada lagi korban dari konflik ini. Masyarakat sudah cukup menderita karena kehilangan akses tanah dan tekanan dari pihak-pihak berkepentingan. Tim terpadu harus segera dibentuk untuk menyelesaikan kasus ini di lapangan secara konkret, bukan hanya di meja rapat,” kata Sekjen SPP.
Menurutnya, langkah ini penting agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap petani penggarap dan masyarakat lokal yang memperjuangkan haknya atas tanah negara. Konflik agraria harus diselesaikan dengan pendekatan sosial, hukum, dan politik yang menyeluruh, bukan represif.
Dewan Suro SPP: Negara Jangan Takluk pada Mafia Tanah
Menanggapi situasi ini, Arif Budiman, Dewan Suro SPP Kabupaten Pangandaran, turut memberikan pernyataan keras. Ia menegaskan bahwa kasus ini adalah ujian nyata bagi komitmen negara terhadap reforma agraria sejati.
“Kami melihat ini sebagai bentuk pembiaran yang sistematis. Negara tidak boleh tunduk pada permainan mafia tanah. Kalau tanah negara saja bisa dipindah tangankan seenaknya tanpa proses hukum yang benar, lalu di mana perlindungan untuk rakyat kecil?” ujar Arif.
Ia juga meminta agar pemerintah daerah Pangandaran dan aparat hukum tidak hanya fokus pada aspek legal formalitas, tetapi juga melihat aspek keadilan sosial yang menjadi inti dari agraria nasional.
“Rakyat kecil, buruh kebun, dan masyarakat adat sering dikorbankan atas nama investasi. Padahal yang mereka perjuangkan adalah tanah kehidupan, bukan tanah untuk spekulasi. Negara harus hadir membela yang lemah, bukan melayani kepentingan modal.”
(Red-@BD)