
Pangandaran, Sergap.live – Sengketa kepemilikan sertifikat tanah atas nama Siti Suhaeni, warga Desa Sukahurip, Kecamatan Pangandaran, kini memasuki babak baru dan berpotensi masuk ke ranah pidana.
Sertifikat tersebut diduga telah dijaminkan oleh inisial W tanpa seizin atau persetujuan tertulis dari pemilik sah.
Menurut penelusuran, sertifikat itu pertama kali dijaminkan oleh W kepada seorang kerabatnya, Ibu Titin, sebagai agunan pinjaman sebesar Rp10 juta.
Tanpa melunasi utang tersebut, W kembali menarik sertifikat dan mengagunkannya kembali kepada Notaris inisial S dengan pinjaman senilai Rp50 juta pada 16 Agustus 2023.
Pinjaman tersebut dilakukan melalui transfer bank dan dilengkapi dengan kwitansi bermaterai. Sertifikat kemudian berpindah tangan kepada Sansuadi, warga Desa Wonoharjo, sebagai pengganti pembayaran utang W kepada S. Belakangan, Sansuadi kembali menyerahkan sertifikat itu kepada Adi Pranyoto, S.H., sebagai jaminan pinjaman senilai Rp70 juta untuk kebutuhan keluarga.
Melihat rangkaian peralihan sertifikat yang terjadi tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari pemilik sah, Adi Pranyoto mengajukan permohonan resmi kepada Pemerintah Desa Sukahurip untuk memfasilitasi mediasi antar semua pihak yang terlibat.
“Saya menyerahkan sertifikat tersebut karena niat membantu sesama dalam keadaan darurat. Namun karena peralihan yang tidak jelas dan tanpa persetujuan pemilik, saya minta Pemerintah Desa Sukahurip memediasi penyelesaian ini secara kekeluargaan sebelum perkara ini saya bawa ke jalur hukum,” ujar Adi Pranyoto, S.H.
Dalam surat permohonannya, Adi meminta agar seluruh pihak yang terlibat dihadirkan dalam forum mediasi, yakni: Siti Suhaeni (pemilik sah), W (pihak yang pertama menjaminkan), Ibu T dan , Notaris S, Sansuadi, serta perangkat desa seperti Kepala Dusun, RT/RW, Babinsa dan Bhabinkamtibmas Desa Sukahurip.
Namun, mediasi pertama yang dijadwalkan oleh pemerintah desa belum membuahkan hasil karena W tidak hadir tanpa keterangan jelas.
Kepala Desa Sukahurip, Warsiman, menyampaikan bahwa pihaknya menginginkan permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan di tingkat desa tanpa harus masuk ke ranah hukum.
“Harapan kami masalah ini tidak berkepanjangan. Kami ingin persoalan ini bisa diselesaikan di desa, secara musyawarah kekeluargaan. Namun karena saudara W tidak hadir dalam mediasi pertama, kami akan menjadwalkan mediasi kedua,” ujar Warsiman.
Ia juga menegaskan bahwa apabila W kembali tidak kooperatif, maka pihak desa tidak bisa menghalangi jika pihak korban menempuh jalur hukum.
“Kalau W tidak juga kooperatif, tentu kami tidak bisa melarang korban untuk melanjutkan ke jalur hukum,” tambahnya.
Asep Supriadi , kuasa dari pihak Siti Suhaeni, menyatakan sikap tegas atas ketidakhadiran W dalam undangan mediasi desa.
“Kami mengecam keras ketidakhadiran saudara W yang sudah kami undang secara resmi. Bila dalam mediasi berikutnya pun dia tidak hadir, kami akan membawa kasus ini ke jalur hukum. Ini bukan hanya soal utang, tapi juga soal hak atas kepemilikan tanah,” tegas Asep.
Dugaan pelanggaran hukum dalam kasus ini mengarah pada beberapa pasal pidana, di antaranya:
Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan, dengan ancaman pidana hingga 4 tahun,
Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, dengan ancaman hingga 4 tahun,
Pungkas.
(Red-@BD)